Yang Terbenam dan Kemudian Tidak Kembali

irznd
3 min readNov 29, 2021

--

Ilustrasi: Tegar

Hari ini adalah hari kematianku yang ke sembilan belas ribu tujuh ratus lima puluh sembilan — kalau aku tidak salah hitung. Percayalah, terkubur selama itu membuat persendian terasa kaku. Organ dalamku juga tidak lagi bekerja secara maksimal — karena memang semuanya sudah tidak ada lagi hehe.

Mungkin sudah diurai oleh organisme tanah? Menjadi humus? Kalau seperti itu, aku bahagia karena setidaknya kematianku sedikit lebih berguna bagi tumbuhan-tumbuhan di hutan ini.

Jujur, aku tidak pernah bermaksud merayakan kematianku. Untuk apa? Kebanggaan apa yang membuatku harus merayakan hari kematianku sendiri?

Tidak ada.

Aku mati tidak demi apapun. Tidak demi negara, tidak demi ideologi, tidak demi partai, tidak demi organisasi, tidak demi temanku atau bahkan keluargaku. Tidak juga sebagai martir. Lalu apa?

Sejujurnya aku tidak tahu alasan di balik kematianku. Demi stabilitas?

Mungkin saja.

Sebenarnya aku ingin bertanya pada mereka yang menyeretku dengan paksa di malam berdarah itu. Malam yang membuatku harus tidur panjang dalam keadaan yang sama sekali tidak layak ini. Malam yang memisahkanku dari orang-orang yang kusayang tanpa tahu bagaimana nasib mereka selanjutnya.

Apakah mereka bernasib sepertiku? atau hidup dalam pengasingan yang luar biasa kekal? Menjadi pesakitan di ujung pulau antah berantah? Menunggu mati?

Sungguh, aku ingin bertanya pada mereka yang menyiksaku. Dengan kekejian di luar nalar manusia manapun. Lalu meninggalkanku dalam keadaan menggelepar dan sekonyong-konyong menguburkanku tanpa tahu apakah aku sudah mati atau belum.

Ingin. Tapi toh mungkin mereka sudah lupa. Mungkin juga sebagian dari mereka sudah mati, dengan jauh lebih pantas tentunya. Di kasur hangat. Lengkap dikelilingi keluarga yang menangis isak penuh haru. Diagung-agungkan sebagai pihak yang berjasa dalam ‘penumpasan para komunis’ tahun 1965.

Teruntuk kalian para ‘penumpas’, apa kalian bisa menjalani hidup dengan bahagia dan tidur nyenyak setelah kurang lebih membantai lima ratus ribu manusia? Kalian bahkan bisa menari Cha-cha?

Apa kematianku kini membuat sebuah perubahan besar di Indonesia? Perubahan ke arah yang lebih baik tentunya? Atau aku hanya mati dalam kesia-siaan? tanpa nama dan makna. Tidak diingat oleh siapapun. Tergerus dan semakin lama semakin hilang.

Aku tidak tahu. Boro-boro diingat. Suara sumbangku paling-paling hanya membentur ruang sunyi dalam sejarah. Rekonsiliasi tragedi telah diadakan dan kemudian dilupakan. Lagi. Anak-anak muda juga tidak pernah tahu sejarah terbentuknya negara ini. Di bawah tanah, bergelimang darah dan nanah, kami meregang. Para pelaku tentu haha hihi saat ini. Menikmati hari tua tanpa pernah diadili.

Semakin zaman berputar, semakin banyak kuburan massal yang ditemukan. Di Purwodadi, Magetan, Pacitan, Cilacap, Sukabumi. Sampai-sampai sebagian dari kuburan tersebut kini telah berganti rupa menjadi bangunan. Hebat. Toko, hotel. Berdiri tepat di atas tumpukan mayat tanpa nama. Apa generasi muda saat ini mengetahuinya?

Aku pikir tidak. Tapi, siapa aku? Apa aku mempunyai hak untuk diingat?

Tidak tahu. Tidak pernah tahu.

Aku ingat bahwa ada sebuah adagium terkemuka yang seringkali mencuat di saat-saat tertentu. Konon pertama kali dikemukakan oleh seseorang yang bernama Wins… Winston… Chur…cil. Kira-kira itu namanya kalau aku tidak salah mengeja. Aku juga tidak kenal orang itu. Tapi melihat namanya yang sering disebut-sebut, mungkin saja dia orang yang terkenal. Adagium itu adalah…

Sejarah ditulis oleh para pemenang.

Dan itu yang terjadi di Indonesia. Kami disingkirkan karena kami bukan pemenang. Kami hanya sekumpulan buruh tani, juga di antaranya berasal dari pergerakan wanita. Omong-omong, pernahkah kalian mengkaji tentang organisasi kami? Kuharap sudah. Supaya mata rantai ketidaktahuan terputus. Supaya segalanya terang benderang. Supaya kami dapat tersenyum dari dalam lubang-lubang sempit dan mengenaskan ini. Kuharap.

Apa harapanku terlalu muluk-muluk bagi generasi kalian?

Kuharap tidak. Ah, aku banyak sekali berharap ya. Sudahlah, sampai segalanya jelas, aku akan kembali istirahat. Tidak nyaman memang, tapi ini satu-satunya tempat yang menerimaku ketika stigma negatif masih menyertai kami bahkan setelah berpuluh-puluh tahun berlalu. Menyedihkan.

Ah ya, pertanyaan terakhir. Kenapa aku harus mati?

Tulisan ini pertama kali terbit pada 8 November 2019 di lpmpendapa.com. Diterbitkan kembali dengan beberapa penyesuaian.

--

--

irznd
irznd

No responses yet